Jakarta, Warnaberita.com – Dunia sains kini memasuki era baru yang didorong oleh Large Language Model (LLM), teknologi di balik ChatGPT.
LLM tidak lagi sekadar mesin penjawab, tetapi telah bertransformasi mampu melakukan penalaran, perencanaan, hingga menjalankan eksperimen di laboratorium.
Menurut Kyong-ha Lee dari Korea Institute of Science and Technology Information (KISTI), dikutip dari laman BRIN, dunia sedang memasuki era baru di mana bahasa menjadi interface untuk otomatisasi di domain ilmiah.
Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan LLM diimplementasikan dalam sistem fisik, seperti proyek Eureka NVIDIA yang mengoptimalkan fungsi robot melalui LLM.
Ia menyebut LLM dapat diartikan sebagai sebuah interface yang menghubungkan antara manusia dengan perangkat fisik.
Lee juga menyoroti pengaruh AI pada penemuan ilmiah. Ia merujuk pada capaian David Baker, peraih Nobel Kimia 2024 yang sukses dengan desain protein komputasionalnya.
Penerapan AI dalam penelitiannya mampu mempercepat durasi penelitiannya.
“Ini adalah bukti bahwa teknologi AI adalah teknologi yang luar biasa, inovatif, dan sangat berpengaruh,” tegasnya.
Selanjutnya, Lee memperkenalkan penerapan AI untuk sains di Korea Selatan melalui pengembangan model bahasa dwi-bahasa (Korea dan Inggris) bernama KONI (KISTI Open Natural Intelligence).
Tujuan utama KONI adalah untuk mempercepat penemuan sains dengan teknologi AI.
Meskipun laju inovasi sangat cepat, satu tantangan krusial yang masih membayangi, yakni masalah hak cipta (hak penulis).
Banyak informasi bagus ada di jurnal dan jurnal adalah hak penulis. “Untuk mewujudkan AI untuk sains sepenuhnya, kita harus berhadapan dengan masalah ini dan mendorong gerakan sains terbuka untuk memajukan kolaborasi ilmiah global melalui teknologi AI,” tutupnya.
Memodelkan Seluruh Spektrum Kemungkinan
Sementara itu, Vlado Menkovski dari Eindhoven University of Technology (TU/e) memaparkan Machine Learning (ML) tengah diarahkan menuju era baru di mana AI tidak lagi hanya memprediksi satu hasil, melainkan mampu memodelkan seluruh spektrum kemungkinan.
Ia menyoroti keterbatasan model ML tradisional dalam memprediksi perilaku sistem fisika sensitif atau kaotik, di mana kondisi awal yang serupa dapat menghasilkan hasil akhir yang sangat berbeda.
“Model ML konvensional cenderung gagal pada titik bifurkasi (percabangan hasil), seperti dalam dinamika pendulum ganda atau simulasi fluida,” tegas Vlado.
Sebagai solusinya, ia mendorong pengembangan simulator probabilistik menggunakan teknologi AI generatif.
Model baru ini dapat mengatasi data eksperimen yang bising dan ketidakpastian dalam sistem yang sangat bergantung pada simetri, seperti pergerakan kerumunan atau transisi fase fluida.
Tujuannya, AI mampu memprediksi seluruh distribusi probabilitas hasil yang mungkin terjadi, bukan hanya satu lintasan tunggal, sehingga dapat memodelkan ketidakpastian (stokastik) secara akurat.
Vlado menyebutkan bahwa Geometric Learning dan model Difusi menjadi kunci karena menawarkan representasi data yang efisien dan kemampuan untuk memproses langkah simulasi secara bertahap. Menjadikannya sangat ekspresif dalam memodelkan dinamika yang kompleks dan non-linear. (*)
