Mangupura, warnaberita.com - Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, kembali melaksanakan tradisi Mekotet pada Sabtu (3/5).
Tradisi yang digelar bertepatan Hari Raya Kuningan sarat makna sebagai bentuk tolak bala dan permohonan keselamatan. Tradisi yang juga dikenal dengan sebutan ngerebek ini merupakan warisan leluhur yang tetap dilestarikan hingga kini.
Upacara Mekotek memiliki akar sejarah yang kuat. Awalnya, tradisi ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan atas kemenangan pasukan Kerajaan Mengwi yang pulang dari medan perang usai mengalahkan Kerajaan Blambangan di Jawa. Sejak saat itu, tradisi ini terus dilaksanakan secara turun-temurun.
Baca Juga: Tradisi Bukakak Simbol Kesuburan Desa Giri Emas Masuk WBTB
Bendesa Adat Munggu, I Made Suweda menceritakan tradisi sempat terhenti pada tahun 1915 saat masa penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial khawatir tradisi ini berpotensi menjadi pemicu pemberontakan. Ironisnya, setelah tradisi ini dihentikan, desa Munggu justru dilanda wabah penyakit. Hal ini membuat warga kembali melaksanakan Mekotek sebagai bentuk ritual tolak bala dan permohonan keselamatan.
Tradisi ini digelar setiap 210 hari sekali menurut kalender Hindu Bali, tepatnya pada Hari Raya Kuningan atau Sabtu Kliwon Kuningan, sebagai penutup rangkaian Hari Raya Galungan. Dahulu, alat yang digunakan dalam upacara ini adalah tombak besi. Namun karena banyaknya peserta yang mengalami luka, alat tersebut diganti menjadi tongkat kayu pulet yang dikupas kulitnya dengan panjang sekitar 2 hingga 3,5 meter.
Baca Juga: Tradisi Ngelawar Penampahan Galungan Jadi Simbol Kebersamaan
Pelaksanaan Mekotek dimulai dari berkumpulnya ribuan peserta di Pura Dalem Munggu. Mereka mengenakan pakaian adat madya berupa kancut dan udeng batik. Setelah melakukan persembahyangan dan ucapan terima kasih atas hasil panen, para peserta berjalan beriringan menuju sumber air yang ada di kampung. Suasana semakin meriah saat gamelan khas Bali mulai ditabuh, mengiringi ribuan warga yang mengikuti ritual ini.
Ribuan peserta yang terdiri dari 12 banjar, baik tua maupun muds membentuk kelompok-kelompok kecil. Masing-masing kelompok. Mereka saling mengangkat tongkat kayu hingga membentuk formasi seperti piramida atau kerucut.
Pemuda yang paling berani akan naik ke puncak formasi tersebut untuk memberikan komando semangat, yang kemudian memicu adu piramida antara kelompok. Tradisi ini bukan ajang kekerasan, tetapi simbol persatuan, keberanian, dan solidaritas masyarakat.
Baca Juga: Tak Melulu Identik dengan Kelinci dan Telur, Ini 5 Tradisi di Indonesia untuk Perayaan Paskah
Mekotek bukan hanya sekadar upacara ritual. Ia adalah wujud nyata bagaimana tradisi dan budaya Bali tetap hidup dan lestari di tengah modernisasi. Dengan semangat gotong royong dan nilai luhur yang terkandung di dalamnya, Mekotek menjadi warisan budaya yang tidak hanya dipertahankan, tetapi juga menjadi kebanggaan masyarakat Desa Munggu.(*)