Badung, warnaberita.com - Di sebuah rumah sederhana di Banjar Semana, Desa Mambal, Kecamatan Abiansemal, tinggal seorang seniman yang mendedikasikan dirinya untuk melestarikan budaya Bali melalui suling tradisional.
Namanya I Nyoman Purwayasa. Pria berusia 36 tahun ini bukan hanya seorang pengrajin suling, tetapi juga pengajar yang rela berbagi ilmu tanpa pamrih kepada generasi muda dan wisatawan mancanegara.
Kisah cinta Purwayasa dengan suling bermula pada tahun 2015. Saat itu, ia memiliki keinginan kuat untuk belajar memainkan suling, namun dengan cara yang berbeda—ia ingin membuat sulingnya sendiri. Berbekal bambu yang tumbuh di belakang rumah, ia mulai bereksperimen. Prosesnya tidak mudah, apalagi ia tidak memiliki guru. Namun semangat belajar dan rasa ingin tahunya membawanya pada keberhasilan. Ia rajin bertanya kepada teman, menonton video di media sosial, hingga akhirnya mampu memainkan beberapa lagu dari suling ciptaannya sendiri.
Baca Juga: Indonesia Kirim Bantuan Senilai 1,2 Juta Dolar ke Myanmar
“Saya latih setiap hari, bahkan sampai saya bawa tidur sulingnya. Lama-lama bisa juga, dan rasanya luar biasa bisa main alat yang saya buat sendiri,” tuturnya saat ditemui Bali Express.
Seiring waktu, keinginan untuk memperbanyak suling tak lagi semata demi kepuasan pribadi. Ia ingin agar alat musik tradisional Bali ini bisa tetap hidup di tengah arus modernisasi. Ia mulai membuat suling dalam jumlah lebih banyak, sembari terus memperbaiki kualitas produksinya. Untuk itu, ia mendatangkan bambu buluh dari daerah-daerah seperti Bangli, Buleleng, dan Tabanan. Proses seleksi bahan sangat ketat. Bambu harus didiamkan selama tiga bulan, lalu dipotong per ruas dan dikeringkan kembali hingga tiga bulan berikutnya. Semua dilakukan demi mendapatkan bahan terbaik.
Kini, suling buatan Purwayasa telah dikenal hingga ke mancanegara. Melalui media sosial dan platform e-commerce, ia menjual berbagai jenis suling melalui merek “Manil Suling Collection”. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp 35 ribu untuk anak-anak hingga Rp 200 ribu untuk suling profesional. Bahkan, suling buatannya turut dipamerkan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB).
Baca Juga: Kompetisi Seni Jadi Sarana Pendidikan Karakter Generasi Muda
Namun yang membuat sosok Purwayasa istimewa adalah keinginannya untuk berbagi. Ia membuka kelas suling gratis untuk anak-anak dan remaja lokal. Tak hanya itu, wisatawan asing dari Eropa hingga Cina pun kerap datang ke rumahnya untuk belajar langsung cara membuat dan memainkan suling. Ia percaya bahwa warisan budaya seperti suling Bali harus dirawat dan dibagikan, bukan dikomersialisasi semata.
“Banyak yang tertarik belajar setelah mendengar suara rindik di bandara atau hotel. Mereka datang dan saya senang bisa mengajarkan,” ucapnya bangga.
Bagi Purwayasa, suling bukan sekadar alat musik, melainkan jembatan budaya. Ia berharap semakin banyak generasi muda yang tertarik untuk melestarikan alat musik tradisional ini. “Bali punya kekayaan budaya yang luar biasa. Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Saya ajak anak-anak muda, mari datang ke rumah, kita belajar bersama,” tutupnya penuh semangat.
Baca Juga: Tujuh Lukisan Hiasi Area Kantor Uniqlo, Kolaborasi dengan Seniman Muda Disabilitas
Dengan semangat dan ketulusannya, I Nyoman Purwayasa telah menjadi simbol perlawanan terhadap pelupaan budaya. Dari sebuah desa kecil, suaranya lewat suling menggema hingga ke penjuru dunia.(*)