Denpasar, warnaberita.com - Deru gamelan dan gegap gempita seni budaya membuka ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII tahun 2025 di Niti Mandala Renon, Denpasar.
Pawai Peed Aya yang menjadi penanda dimulainya pesta seni tahunan terbesar di Bali ini tampil megah, dengan kehadiran seluruh kabupaten dan kota se-Bali. Salah satu yang paling mencuri perhatian adalah penampilan Kabupaten Tabanan lewat garapan bertajuk Singasana Jaya Mahardika.
Mengusung tujuh barisan seni budaya, Tabanan tak hanya memamerkan keindahan, tetapi juga menyuguhkan narasi utuh tentang jati diri dan perjalanan panjang budaya masyarakatnya. Ratusan seniman turut serta, membawa harmoni antara busana, musik, dan gerak tari dalam satu persembahan yang kental akan makna dan filosofi.
Baca Juga: Pemkot Denpasar Pastikan Kesiapan Duta Tapil di Ajang PKB XLVII Tahun 2025
Panggung dimulai dengan barisan pembawa papan nama, mengenakan Payas Lelunakan, riasan khas perempuan Tabanan zaman dahulu. Detail busana seperti tengkuluk dan lilitan selendang memperkuat citra klasik namun berwibawa. Disusul oleh Payas Agung Khas Tabanan yang ikonik dengan gelung tanduk dan ketengsun, menampilkan sisi agung dan anggun masyarakat agraris Tabanan.
Tari Jayaning Singasana AUM tampil penuh energi, menampilkan simbol kejayaan Tabanan di era baru. Tarian ini merupakan buah pikir dari Bupati Tabanan, Dr. I Komang Gede Sanjaya, yang menggambarkan kepemimpinan visioner dan penuh cinta tanah kelahiran.
Tak kalah menarik, barisan Uparengga Tridatu membawa suasana sakral. Balutan warna merah, putih, dan hitam menyimbolkan kekuatan spiritual Sang Hyang Widhi dalam tiga manifestasi utama. Ini menjadi penegasan bahwa spiritualitas tetap menjadi pondasi utama masyarakat Tabanan di tengah perkembangan zaman.
Baca Juga: Tiga Sekehe Gong Kebyar Duta Denpasar Siap Tampil Terbaik di PKB XLVII Tahun 2025
Kreativitas pun terlihat lewat Kreasi Bebarisan dari Desa Tengkudak, menampilkan Baris Memedi dengan balutan daun-daunan dan ranting. Nuansa magis hadir dalam gerakan yang menggambarkan interaksi antara dunia fisik dan roh leluhur, mencerminkan prinsip Jagat Kerthi yang dijunjung tinggi.
Garapan utama Singasana Jaya Mahardika kemudian mengangkat ritual Ngadegang Bhatara Sri, tradisi pertanian sebagai lambang syukur atas kesuburan tanah. Ini menjadi penegasan posisi Tabanan sebagai lumbung pangan Bali yang masih kokoh menjaga nilai adat dan alam.
Sebagai penutup, denting Okokan, alat musik dari kayu yang biasa tergantung di leher sapi, bergema membelah suasana. Simbol pertanian yang dulunya bersifat fungsional kini berubah menjadi seni pertunjukan, tanpa meninggalkan akar spiritual dan ekologisnya.
Baca Juga: Buleleng Usung “Agra Buwana Raksa” di PKB 2025
Dalam pernyataannya, Bupati Tabanan menyampaikan kebanggaan atas keterlibatan seluruh elemen masyarakat. “Ini lebih dari sekadar penampilan budaya. Ini adalah cermin dari semangat dan jati diri Tabanan sebagai daerah yang kaya tradisi dan siap melangkah ke masa depan dengan tetap berpijak pada warisan leluhur,” ujarnya.
Penampilan Tabanan di Peed Aya PKB XLVII bukan hanya mencuri perhatian, namun juga meninggalkan kesan mendalam bahwa budaya bukan sekadar warisan, melainkan kekuatan hidup yang terus tumbuh bersama masyarakatnya.(*)