Jakarta, warnaberita.com - Kementerian Agama (Kemenag) tengah merancang skema baru bimbingan pranikah. Hal itu dilakukan melalui pemetaan wilayah-wilayah dengan tingkat perceraian tinggi.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abu Rokhmad, mengatakan, pemetaan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti faktor kultural, akses layanan keagamaan, serta kualitas pembinaan keagamaan di masyarakat.
Skema baru ini dirancang mengingat tingginya angka perceraian di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Dalam kurun 2020 hingga 2024, angka perceraian konsisten berada pada kisaran ratusan ribu per tahun, bahkan meningkat signifikan pada masa pandemi dan pasca-pandemi.
Baca Juga: Di Tengah Disrupsi Digital, Dewan Pers Penting Jaga Kualitas Informasi Publik
“Data mengenai pernikahan dan perceraian dalam lima tahun terakhir menjadi bahan refleksi bagi kami. Tingginya angka perceraian menunjukkan perlunya evaluasi terhadap pendekatan bimbingan pranikah agar lebih adaptif dengan kondisi kehidupan berumah tangga masa kini,” kata Abu dalam peringatan Hari Keluarga Internasional di Jakarta, Kamis (15/5/2024).
Menurutnya, skema baru ini akan memasukkan pendekatan berbasis komunitas, integrasi modul dengan dinamika lokal, serta penyuluhan pascapernikahan. Tujuannya adalah untuk membekali calon pengantin dengan keterampilan hidup dalam membangun rumah tangga yang tangguh.
Kemenag mencatat bahwa faktor penyebab perceraian meliputi perselisihan terus-menerus, persoalan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, dan krisis komunikasi. “Satu kasus perceraian bisa disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus. Ini menunjukkan perlunya pendekatan bimbingan yang multidimensi,” jelas Abu.
Baca Juga: Kemenag Fasilitasi Badal Haji untuk Jemaah Telah Wafat
Abu mengungkapkan, kelompok usia 22–24 tahun menjadi kelompok dominan dalam peristiwa pernikahan. Kelompok ini, imbuhnya, rawan menghadapi konflik rumah tangga akibat ketidaksiapan emosional dan rendahnya manajemen konflik.
“Usia muda bukan kendala utama. Tapi kesiapan mental, emosional, dan sosial itu kunci. Karena itu, skema bimbingan kita harus bisa bertransformasi menjadi sarana pembentukan bekal kehidupan rumah tangga," imbuhnya.
Momentum Hari Keluarga Internasional tahun ini, dengan tema global “Kebijakan Berorientasi Keluarga untuk Pembangunan Berkelanjutan”, dijadikan pijakan untuk memperkuat ketahanan keluarga. Salah satu strateginya adalah memperluas peran penyuluh agama sebagai agen perubahan sosial berbasis keluarga.
Baca Juga: Tata Kelola Pemerintahan Jadi Pilar Utama Ketahanan Bangsa
“Kami ingin memastikan setiap pasangan yang menikah tidak hanya sah secara agama dan negara, tetapi juga siap secara lahir batin membangun keluarga yang sehat dan harmonis,” pungkas Abu. (*)