Jakarta, warnaberita.com - Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Mardani Ali Sera menyoroti aksi demonstrasi besar-besaran di Amerika Serikat (AS), khususnya di Los Angeles, menyusul penolakan kebijakan imigrasi pemerintahan Presiden Donald Trump. Ada dua warga negara Indonesia (WNI) yang ditahan di Los Angeles, buntut kebijakan tersebut.
Mardani meminta pemerintah untuk mendata status Warga Negara Indonesia (WNI) legal maupun ilegal. Ia juga meminta pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk terus memberi pendampingan hukum kepada WNI yang ditahan.
"Kita mesti hadir, menjaga dan mendukung diaspora para WNI kita," kata Mardani Ali Sera, Jumat (13/6).
Baca Juga: Pemkab Buleleng Gandeng Kaum Perempuan Perangi Narkoba
Seperti diketahui, kebijakan imigrasi Presiden Donald Trump yang semakin keras telah memicu gelombang protes publik yang berujung pada kerusuhan dan ketegangan sosial yang meningkat. Setidaknya ada 21 kebijakan untuk membersihkan AS dari migral ilegal yang dikeluarkan Trump.
Mulai dari pemberian wewenang bagi otoritas keamanan untuk menangkap terduga migran ilegal di tempat-tempat umum, seperti di sekolah, gereja, rumah sakit, atau ketika berada di pengadilan. Kebijakan lainnya yang krusial ialah terkait penghapusan kewarganegaraan otomatis bagi bayi-bayi yang lahir di AS.
Aksi protes akibat kebijakan-kebijakan tersebut pun dibalas Trump dengan model operasi militer. Trump bahkan mengerahkan 2.000 pasukan Garda Nasional untuk meredam demonstrasi yang terjadi di Los Angeles, pada Sabtu, (7/6).
Baca Juga: Lokakarya Literasi Digital, Semangat Baru Literasi Digital di Buleleng
Gedung Putih menyebut pengerahan ini sebagai langkah untuk meredakan ‘pelanggaran hukum’ setelah aksi protes yang diwarnai kerusuhan.
Aksi demonstrasi memprotes kebijakan imigrasi Trumps di AS juga semakin meluas dan bermunculan di berbagai wilayah lain seperti di Chicago, Texas, Philadelphia, Boston, Denver, San Francisco, Seattle, New York, hingga ibu kota AS, Washington DC.
Aksi protes juga dilakukan menyusul banyaknya penggerebekan hingga penangkapan yang dilakukan otoritas imigrasi federal Amerika Serikat (AS), atau Department of Homeland Security (DHS) dan Badan Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) kepada warga migran dengan dalih penegakan hukum imigrasi.
Baca Juga: Jembrana Mantapkan Langkah Jadi Pelopor Program Makan Bergizi Gratis di Bali
Menurut Mardani, kebijakan Trump justru mengantarkan AS menuju pada jurang kematiannya. Sebab Amerika Serikat tak lagi menjadi negara di mana banyak etnis yang berkumpul melebur menjadi satu. Padahal selama ini, imigran di AS menjadi penggerak ekonomi negara adidaya itu.
"USA semakin menuju kematian, karena tidak lagi menjadi melting pot. Tidak lagi punya American Dream. Padahal imigran selama ini jadi motor pertumbuhan USA," ungkap Mardani.
Secara politik, lanjut Mardani, Indonesia menghadapi dilema diplomatik. Di satu sisi, Indonesia memiliki hubungan strategis dan ekonomi dengan Amerika Serikat, namun di sisi lain, prinsip-prinsip hak asasi manusia dan perlindungan warga negara asing yang kini dirusak oleh kebijakan imigrasi Trump.
Baca Juga: Kabar Gembira! Pemkab Tabanan Bebaskan Denda PBB-P2 hingga Akhir 2025
Diketahui 2 WNI yang baru-baru ini ditangkap ICE tidak terlibat dalam aksi demonstrasi meski penangkapan terjadi di tengah aksi protes. KJRI Los Angeles menyatakan kedua WNI tersebut sedang dalam proses pengajuan perubahan status untuk mendapatkan green card atau kartu penduduk tetap di Amerika Serikat.
Hal ini yang menurut KJRI masih menjadi tanda tanya karena otoritas AS biasanya tidak menangkap orang yang sedang alih status. Meski DHS menyebut salah satu WNI memiliki catatan kriminal, KJRI menyatakan kasusnya masih belum jelas.
Terkait hal ini, Mardani meminta Pemerintah memberikan perlindungan maksimal bagi para WNI, mengingat kondisi AS kini sedang tidak baik-baik saja karena ke kebijakan Donald Trump yang keras.
Baca Juga: Kereta Mini Taman Bung Karno Akan Dikelola Bersama Desa Adat
"Mungkin perlu disiapkan para pengacara handal dan bekerja sama dengan komunitas lokal untuk mengatasi kebijakan imigrasi yang kontroversial tersebut,” tuturnya. (*)