Buleleng, warnaberita.com – Dalam denting gamelan yang sakral dan suasana penuh khidmat, Tari Nyenuk kembali digelar dalam rangkaian Upacara Padudusan Agung Menawa Ratna di Pura Desa/Bale Agung, Desa Adat Sangsit Dauh Yeh, Buleleng.
Tarian ini tidak hanya menjadi pertunjukan seni biasa, melainkan mengandung makna filosofis mendalam tentang keseimbangan antara alam semesta (bhuana agung) dan manusia (bhuana alit), serta hanya dipentaskan setiap 74 tahun sekali.
Bendesa Adat Sangsit Dauh Yeh, I Wayan Wisara, menyampaikan bahwa Tari Nyenuk adalah bentuk ekspresi spiritual dan wujud rasa syukur masyarakat atas perlindungan dan anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ditampilkan sebagai puncak dari rangkaian upacara, tarian ini menjadi simbol harmoni, sekaligus penutup sakral dari proses keagamaan besar tersebut.
Baca Juga: Wujud Pelestarian dan Ketahanan Ekologis, Bupati Badung Tanam Pohon Bodhi
"Tarian ini adalah cerminan dari hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Warna-warni busana yang digunakan para penari melambangkan unsur-unsur spiritual; merah untuk keberanian, putih untuk kesucian, kuning sebagai lambang kebijaksanaan, hitam untuk kekuatan, dan loreng sebagai simbol harmoni dalam keberagaman," ujar Wisara.
Ia juga menjelaskan bahwa tarian ini merepresentasikan manifestasi lima arah mata angin dalam kepercayaan Hindu Bali—Dewa Siwa di timur, Brahma di selatan, Mahadewa di barat, Wisnu di utara, dan pusat sebagai panca datu, yang memperkuat nilai-nilai keseimbangan dalam semesta.
Sebelum pentas, dilakukan prosesi memasar melalui bale pedanaan, sebagai simbol pentingnya sumbangsih sosial-ekonomi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam prosesi ini, masyarakat turut serta dengan membawa berbagai hasil bumi dan perlengkapan persembahan yang dibagi sesuai peran gender dan usia.
Baca Juga: Rejang Mahadewi, Tarian Wujud Ungkapan Syukur
Tak hanya berlangsung di dalam pura, tarian ini dilanjutkan dengan pawai budaya sepanjang satu kilometer mengelilingi pasar tradisional. Lelaki membawa tegen-tegenan berisi kelapa, tebu, dan umbi-umbian, sementara para wanita membawa beras, sesajen, dan bunga.
Semua elemen masyarakat, dari anak-anak hingga lansia, turut serta, menunjukkan betapa kuatnya akar gotong royong dan pelestarian budaya di tengah arus modernitas.
Upacara ini pun dimeriahkan oleh kesenian tradisional seperti tembang dan gamelan yang menguatkan makna religius, menjadikan setiap elemen seni sebagai bagian tak terpisahkan dari ritual.
Baca Juga: Pemkab Buleleng Usulkan Penetapan Penyerahan SK PPPK Dimajukan, Ini Tanggalnya!
"Tari Nyenuk bukan hanya sebuah warisan budaya, tapi juga cermin dari nilai-nilai luhur yang terus dijaga. Ini adalah pesan yang kuat bagi generasi muda bahwa budaya bukan untuk dilupakan, melainkan untuk dirawat bersama," pungkas Wisara.(*)