Surabaya, warnaberita.com - Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang tertekan oleh dinamika global, Bank Indonesia (BI) kembali mengambil langkah intervensi di pasar valuta asing.
Langkah ini menimbulkan diskusi luas terkait efektivitas intervensi, ketahanan cadangan devisa nasional, hingga pentingnya transparansi kebijakan moneter.
Pakar Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Prof. Dr. Tika Widiastuti, S.E., M.Sc. mengungkapkan intervensi BI ini merupakan respons atas tekanan eksternal yang semakin kuat.
Baca Juga: Ini Lima Rute Penerbangan dari Bali dengan Trafik Tertinggi Selama Libur Lebaran
“Penguatan dolar AS didorong oleh ekspektasi bahwa suku bunga The Fed akan tetap tinggi. Ditambah lagi, ketegangan geopolitik global meningkatkan ketidakpastian pasar,” jelasnya.
Dalam situasi tersebut, arus modal asing cenderung keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, menurut Prof. Tika, intervensi diperlukan untuk menstabilkan nilai tukar dan menjaga kepercayaan pasar.
Terkait efektivitas intervensi dibandingkan dengan instrumen lain seperti kenaikan suku bunga, ia menilai masing-masing memiliki keunggulan dalam konteks yang berbeda.
Baca Juga: Pupuk Indonesia Dorong Produktivitas Lahan Lewat Ekosistem Pertanian Terintegrasi
Intervensi di pasar valuta asing dinilai efektif untuk meredam gejolak jangka pendek, terutama saat tekanan eksternal tiba-tiba meningkat. Sementara itu, penyesuaian suku bunga lebih berdampak dalam jangka panjang, meski berisiko menekan aktivitas ekonomi.
“Karena itu, keduanya perlu dikombinasikan secara hati-hati,” ujarnya.
Menjawab kekhawatiran publik soal ketahanan cadangan devisa, Prof Tika menyebut posisi cadangan devisa Indonesia yang tercatat sekitar USD 140 miliar per Maret 2025 masih cukup kuat.
Baca Juga: Hadiri Pelantikan Pengurus Besar IDI, Ini Kata Menkes
“Namun, BI tetap harus berhati-hati agar tidak terlalu agresif menggunakan cadangan tersebut. Penggunaan cadangan harus selektif agar ketahanan eksternal tidak terganggu,” terangnya.
Sebagai alternatif selain intervensi langsung, pakar ekonomi itu menyarankan agar Bank Indonesia mengembangkan instrumen lain seperti Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), kerja sama swap bilateral, serta pemberian insentif untuk mendorong arus valas dari ekspor dan remitansi.
Menurutnya, langkah-langkah tersebut dapat menjadi pelengkap dalam menjaga stabilitas nilai tukar.
Baca Juga: Konsisten Tingkatkan Kualitas, Ini Sederet Keunggulan Prodi Kimia Unair
Ia menegaskan menjaga stabilitas makroekonomi membutuhkan kebijakan yang adaptif, seimbang, dan berkelanjutan di tengah ketidakpastian global.(*)